Opinion

What is Vote Mean to You?

Vote atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah memilih, memutuskan, memberikan suara. Mari kita berbicara bukan mengeni siapa yang kita pilih, tetapi apa arti memilih atau memberikan suara bagi kita secara pribadi. Buat Arianne dan Sissy, ini adalah memberikan suara bagi mereka.

Kata Arianne

Buat saya pribadi, vote atau memberikan suara bukanlah suatu kewajiban, tapi adalah suatu keistimewaan bagi saya sebagai seorang warga negara. Suara yang saya berikan dapat membuat suatu perubahan tidak hanya dalam suatu tatanan masyarakat bahkan hingga pada tingkat tatanan negara. Pada saat saya SD atau SMP saya tidak terlalu paham atau bahkan menganggap hak suara saya adalah penting. Apa sih yang saya pilih pada masa itu? Ketua kelas? Sekertaris? Bendahara? jujur saya mereka tidak sebegitunya signifikan untuk hidup saya, toh mereka cuma jadi asisten guru untuk mengkoordinasi kelas pada akhirnya. Tapi pada saat SMA, dimana saya mengikuti organisasi OSIS/MPK saya tidak hanya tahu rasanya memilih tapi juga dipilih. Tahu berapa besar peran pemimpin atau sesederhana orang yang dipilih terhadap suatu organisasi. Setiap orang punya kepribadian, visi dan misi baik untuk dirinya sendiri maupun orang disekitarnya, lingkungannya. Mungkin hal tersebut yang membuat seseorang menjadi pemimpin seperti apa. Bukan cuma pemimpin tapi mungkin anggota tim seperti apa. Seorang pribadi tertentu dengan misi dan visi apapun membuat sebuah dinamika kelompok dan dampak lingkungan yang berbeda. baik? buruk? mungkin jalan di tempat

Memberikan suara adalah salah satu cara untuk mendapatkan yang terbaik, atau memberikan pelajaran bahwa ada kalanya kita, mayoritas, salah memilih, atau malah mungkin menunjukkan adanya keberadaan, kekuatan dan kepercayaan pada kalangan minoritas.

Memberikan suara adalah keistimewaan yang diberikan oleh negara bagi rakyatnya untuk menunjukkan bahwa buah pikiran, aspirasi, preferensi pribadi mereka penting bagi kelangsungan suatu negara. Menunjukkan bahwa rakyat atau pemilih memiliki negara ini, kota ini, daerah ini, organisasi ini. Bahwa suara seseorang bisa membuat perubahan besar, bukan memenangkan salah satu pihak, tetapi memenangkan kebebasan bersuara, berpendapat dan menunjukkan bahwa suatu negara memiliki rakyat yang kuat, toleran serta dewasa untuk bisa tetap bersatu meskipun memiliki perbedaan pendapat.

Mengingat bahwa

ada beberapa negara di dunia ini, dimana rakyatnya ‘dipaksa’ untuk menyukai, memuja, menghormati, mengikuti pemimpin mereka, maka hak pilih saya adalah hal yang saya syukuri sebagai rakyat Indonesia, bahwa dalam suatu periode tertentu suara saya ‘didengar’ dan ‘berpengaruh’ secara langsung pada negara, kota atau lingkungan saya.

Kata Sissy

Sejujurnya, saya tidak pernah terlalu menganggap serius vote. Mungkin karena saya dibesarkan di era Presiden Soeharto alias orde baru dan menyaksikan sendiri kalau pemenang pemilu ya partai yang itu-itu lagi. Di sekolah pun pada saat itu sama saja, contohnya calon ketua kelas biasanya ditentukan oleh guru, terkadang bahkan anaknya sendiri pun terlihat malas-malasan, dan harus langsung dipilih di awal masa belajar. Saya merasa aneh saja kalau harus memilih seseorang yang tidak saya kenal sama sekali, lalu harus tunduk pada kepemimpinannya selama setahun. Karena itu saya dikenal oleh para ketua kelas saya sebagai seseorang yang selalu golput dan seringkali menantang otoritas mereka.

Ketika masa orde baru berakhir, saya sedikit lebih semangat mengikuti pemilu. Tapi tetap tidak terlalu menggebu-gebu, karena sekali lagi di tahun 2000-an masih sangat sulit mencari data mengenai aslinya setiap calon itu bagaimana. Selain ada kepercayaan dalam diri saya kalau setiap calon itu pasti umbar janji manis saat kampanye, kampus saya di ITB juga punya sikap netral yang artinya pembahasan politik sangat minim dilakukan dan para calon pemimpin ini juga tidak bisa ke kampus. Padahal sebagian besar waktu saya dihabiskan di kampus. Alhasil saya biasanya cuma ikut pemilu presiden saja, milihnya juga berdasarkan insting saja. Kalau sedang malas ya sudah golput saja, nggak masalah buat saya.

Mungkin ada yang bingung kenapa saya yang awalnya golput menjadi begitu concern dengan pemilu belakangan ini. Mungkin karena saya jadi lebih dewasa dan menyadari kalau vote yang kita berikan akan berpengaruh pada kelangsungan hidup kita juga. Suka tidak suka, dunia sudah mengglobal. Budaya, bisnis, ekonomi semuanya global. Kasarnya nih, bayangkan kalau pemimpin kita tiba-tiba melarang penayangan semua film Korea dan Amerika dan cuma menayangkan film Turki dan Pakistan karena disesuaikan dengan mayoritas penduduk Indonesia yang muslim. Nangis darah saya…

Mungkin juga karena keterbukaan media saya jadi menyadari bahwa bisa memilih pemimpin sebenarnya adalah sebuah privilage. Banyak orang di negara lain yang tidak bisa memilih pemimpinnya walau mereka menginginkannya. Nggak usah memikirkan negara kecil atau Korea Utara. Rakyat di negara semaju Jepang dan Inggris saja tidak bisa memilih siapa yang akan diangkat menjadi raja selanjutnya, walau memang keluarga kerajaan tidak terlalu berpengaruh dalam politik. Saya pernah membaca artikel banyak warga jepang yang berharap anak pertama putra mahkota Jepang saat ini yang seorang perempuan diangkat menjadi putri mahkota untuk mewakili budaya Jepang modern dimana perempuan bisa bekerja dan menjadi pemimpin. Kenyataan berkata lain, justru sepupu laki-lakinya yang baru lahir langsung dinobatkan menjadi putra mahkota.

Jadi kalau kita sudah diberikan kesempatan dan fasilitas, kenapa dibuang-buang?