Movie

Movie and chill: Emily in Paris – Honest Review

Kali ini aku mau honest review Emily in Paris. TBH, aku cuma nonton 5 episode dari serial ini. Jadi review ini mungkin bertentangan sama pendapat manteman yang suka banget sama serial ini.

Tapi namanya juga review jujur, kalo menurut saya jelek ya ta’ bilang jelek. Hahaha. Tapi pastinya ada alasannya donk. Lanjut baca dulu ya

Setelah mendapatkan pekerjaan impiannya di Paris, Emily Copper seorang Marketing Executive dari Chicago harus memulai petualangan barunya dengan meyeimbangkan antara pekerjaan, persahabatan dan percintaan. Emily in Paris adalah drama komedi romantis yang dibuat oleh Darren Star (Beverly Hills 90210, Melrose Place, Sex and the City), serial ini tayang secara streaming di Netflix perdana pada tanggal 2 Oktober 2020.

Jadi pertama aku nonton ini film karena semua (and yes semua banget) dari Twitter, Facebook, Instagram sampe BuzzFeed pada ngebahas soal Emily in Paris.

Udah feeling sih kalo nih series kayaknya bukan my cup of tea. Tapi karena orang-orang pada bilang kalo ini serial yg asli ga perlu mikir, nikmatin aja, lagi pandemi gini ngapain nonton yang berat-berat bikin stress (iyauga) akhirnya ya aku nonton.

Tapi ya itu. Tahannya cuma 5 episode aja. Hahaha.

Emily in Paris ini bikinannya Darren Starr yang juga bikin Beverly Hills 90210, Melrose Place dan Sex and the City. Jadi udah tahu lah ya kira-kiranya filmnya, jalan ceritanya bakal kayak gimana. Sex and the City menurut saya cukup oke walaupun saya juga bukan fans. Banyak aspek didalam SATC yang sangat feminis, progresif dan menuntut pemikiran yang terbuka untuk menerimanya bahkan kalau ditonton saat ini.

Sayangnya menurut saya, Emily in Paris hanya menjual aspek yang halu nya aja, tapi tidak ada aspek progresif bahkan kontroversial yang membuat serial ini istimewa.

Emily in Paris sangat indah, harus diakui kalau cinamatografi nya sukses berat membuat Paris (kayaknya) jadi berlipat-lipat lebih indah daripada aslinya.

Menurut beberapa artikel yang saya baca, lokasi-lokasi yang digunakan di dalam Emily in Paris memang cuma lokasi-lokasi turisme yang cakep-cakepnya aja. Banyak yang menyatakan kalau Emily tidak pernah sekalipun muncul di lokasi Paris yang biasa aja, apalagi yang daerah miskin. Bahkan restoran-restoran yang muncul di film ini ada beberapa yang disebut sebagai tourist trap.

Tapi setelah 5 episode itu banyak kejanggalan yang bikin saya males lanjut nonton.

Yang paling halu buat saya adalah Emily yang sukses jadi selebgram dengan postingannya yang BIASA banget. Perlu banget aku kapitalin karena emang biasa banget. Kalo dengan kualitas foto Emily yg kayak gitu doi bisa dapet puluhan ribu followers, harusnya follower aku sekarang udah bisa ngalahin Awkarin.

Lalu, Emily ini sebenarnya posisinya Account Executive, alias penghubung antara klien dengan tim creative atau teknis di agency creative. Tapi, kok kayaknya doi kagak pernah kerja sih, sementara AE di Indonesia banyak yg kecanduan rokok, Kratingdaeng bahkan minuman keras saking stressful dan panjang jam kerjanya. Padahal kliennya Emily kelas berat semua, logikanya mereka demanding banget.

Ditambah lagi, doi kok duitnya banyak bener ya? Apartemennya bagus, bajunya bagus, makan minum di resto mewah. Betul Emily dikirim ke Paris buat menggantikan bosnya, tapi ya masa’ fasilitas kantor buat bos semuanya dikasih ke Emily yang notabene cuma asisten sih?

Selain itu Emily in Paris bener-bener kacaw dalam beberapa hal ini:

  1. Menstereotipkan pria Perancis sebagai gila seks dan petualang seks. Termasuk diantaranya pernyataan yang mengeneralisasi orang Perancis (Paris, tepatnya) sebagai penganut open relationship.
  2. Emily yang kadang memfoto orang lain lalu mempostingnya di sosmednya tanpa konsen.
  3. Emily hampir nggak pernah ngomong Perancis. Magically justru dia selalu dikelilingi sama orang-orang Perancis yang bisa ngomong Inggris cas-cis-cus.
  4. Emily memaksakan gaya kerja, pola kerja bahkan pola pikir Amerikanya ke rekan kerjanya yang orang Perancis, kantor Perancis dan kliennya juga orang Perancis. And everyone seems okay with this, walaupun sikap ini bisa dikategorikan sebagai ignorance.

Btw, keempat poin ini banyak banget menjadi bahan diskusi di sosmed yang dihubung-hubungkan dengan sikap orang Amerika yang katanya sok superior, ignorant dan maunya kapanpun dimanapun orang lain harus ikut their American way.

Tapi, harus diakuin, kalau manteman bukan tipe yang sekritis saya sampe bikin honest review Emily in Paris begini, atau mungkin manteman kritis tapi bisa mengesampingkan pikiran-pikiran pengen debat itu lalu enjoy aja filmnya Emily in Paris ini bisa jadi hiburan yang pas selama pandemi. Ga usah dipikir, dinikmatin aja.


Kapan lagi kita bisa bermimpi bersama Emily, pindah ke kota cinta, pakai baju desainer setiap saat, makan di restoran-restoran mewah, dikelilingi cowok-cowok guanteng dan pastinya nggak pernah khawatir masalah tagihan kartu kredit.

Sejujur honest review Emily in Paris ini, saya juga harus jujur sama diri sendiri. Kalau bisa sih, ya saya juga mau jadi seberuntung Emily. Hahaha

Manteman, terima kasih ya sudah membaca blog kami. Buat manteman yang menyempatkan buat komen, kami juga akan blogwalking ke blog manteman. Follow juga social media kami ya Sissy’s Twitter & Sissy’s Instagram dan Arien’s Twitter & Arien’s Instagram