Life Lessons,  Opinion,  Working Woman Life

Aksesoris Hidup Bernama Media Sosial

Sejak awal, nggak seperti kakak saya Sissy, saya nggak pernah terlalu semangat sama yang namanya social media. Apa karena pada dasarnya saya orangnya cenderung introvert?

Saya lebih suka menghabiskan waktu nonton k-entertainment kesukaan saya daripada menghabiskan waktu mondar-mandir kesana-kesini ketemu si ini si itu for the sake of bahan postingan socmed.

Tapi, saya juga nggak bisa memungkiri kalau socmed sudah jadi bagian dari hidup manusia zaman now. Pekerjaan saya sebagai psikolog pendidikan tentu nggak bisa memungkiri dampak yang dibawa socmed pada anak-anak usia sekolah yang notabene adalah klien saya. Apalagi Sissy juga sering cerita bagaimana bisnis zaman sekarang juga nggak bisa berpisah dari socmed, baik untuk promosi atau malah untuk memilah-milah calon pegawai yang akan diterima.

Saya agak kaget juga awalnya, emang bisa ketauan ya kepribadian seseorang dari socmed nya? Soalnya buat saya socmed itu kayak baju, bisa kita ganti-ganti sesuai kebutuhan situasi dan kondisi. Tapi menurut Sissy, dalam kondisi ideal, bisa aja. Dia pernah kasih contoh, misalnya: seseorang yang semua akun socmed nya private, apa sebetulnya yang disembunyikan?, Atau seseorang yang akun socmed nya penuh sama postingan tentang kerjaan sampingannya, orang seperti ini biasanya nggak akan bekerja lama, karena jelas dari socmed nya dia lebih suka kerjaan sampingannya itu, cuma aja belum ada kesempatan untuk mengembangkan dan dapat uang yang layak dari sampingannya ini.

Betul atau nggak, saya juga ga bisa judge. Tentunya tiap orang juga punya penilaian dan pengalaman yang berbeda-beda. Tapi kembali ke saya sendiri, buat saya pribadi sih socmed itu salah satu aksesoris dalam hidup. Tentu saja isi socmed saya mencerminkan sebagian kepribadian saya, tapi ya tentu nggak utuh. Kalau dulu katanya “don’t judge the book by its cover” kalau kata saya sih sekarang iniย “donโ€™t judge people by their socmed” lebih cocok. Hehehe

Apalagi sekarang ini menurut saya socmed adalah dunia yang sangat toxic. Misalnya di Instagram kami aja, kami suka becanda-becanda belum terkenal kita kalau belum dispam komen peninggi badan atau pembesar payudara. Tapi di akun lain ada yang dikatain โ€œko***lโ€ Cuma karena jual pedang-pedangan kayu seharga Rp.5000. Kadang saya berpikir, banyak orang yang hidup dengan tekanan untuk menjaga imej di dunia nyata lantas membabi buta sembunyi di balik anonimitas di socmed untuk melepaskan frustasi nya. Kadang itu orang lain, kadang itu kita sendiri.

Jujur, kadang kalau ada yang curhat sama saya, saya suka menganjurkan supaya mereka puasa socmed dulu. Pertama, baca postingan negatif mempengaruhi banget lho ke kondisi mental, apalagi kondisi mental yang sedang nggak prima dan sulit untuk berpikir logis. Kedua, postingan yang dibuat pada saat kondisi sedang nggak prima pun kadang tidak dipikir dengan baik dan malah bisa berbalik menjelekkan diri sendiri.

After all, mayoritas dari kita nggak akan seberuntung Awkarin yang sesudah bikin postingan mewek-mewek akibat frustasi diputusin sampe ngaku beli jawaban ujian segala macam, malah makin terkenal dan follower nya nambah. Kalau saya nih yang begitu, mungkin bakalan disidang sama keluarga besar pas arisan keluarga.

Tapi, follow juga ya Instagram dan Twitter kami. Kalau mau yang aman Instagram aja, karena kalau di Twitter kadang kami ga tahan buat komen-komen yang nyerempet politik dll. Hehehe. Tapi insyaallah kami akan terus berusaha supaya potongan kami bernada positif supaya nggak bikin stres manteman. Thank you for reading.


Blog ini adalah bagian dari BPnetwork 30 day blogging challenge. Judul lainnya dari tantangan ini:

  1. Day 1: Blogging mendekatkan diri dengan keluarga. Bisa.
  2. Day 2: Inilah kenapa kritik sosial adalah tema blog favorit kami
  3. Day 3: Ratu pop Jepang yang jadi inspirasi nama blog kami
  4. Day 4: Cerita pendek dari sudut Jakarta dan Bandung

27 Comments